Tokoh

Saatnya Teungku Daud Beureueh Diangkat Jadi Pahlawan Nasional

Banda Aceh – Pernyataan mengejutkan datang dari Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra. Di tengah perdebatan sejarah panjang Aceh dan relasi kompleksnya dengan Jakarta, Yusril dengan lugas menyatakan dukungan agar Teungku Muhammad Daud Beureueh diangkat sebagai Pahlawan Nasional.

Nama Daud Beureueh tidak asing di tanah rencong. Bagi sebagian, ia adalah ulama karismatik, dan pejuang kemerdekaan. Bagi yang lain, ia adalah tokoh kontroversial karena memproklamasikan gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada 1953.

Namun, Yusril memilih berdiri di sisi yang sering dilupakan dalam narasi sejarah resmi: bahwa Daud Beureueh bukan pemberontak dalam makna yang simplistis.

“Dari fakta-fakta sejarah itu, Daud Beureueh mestinya tidak dianggap sebagai pemberontak yang ingin memisahkan Aceh dari NKRI. Beliau seorang Republikan yang kecewa dengan janji-janji yang tak kunjung diwujudkan para pemimpin di pusat,” ujar Yusril.

Gubernur Militer Tanpa Sekolah Formal

Daud Beureueh lahir pada 17 September 1899 di Beureu’eh, Pidie, Aceh. Ia tidak pernah mengenyam pendidikan formal, namun otodidak dalam dunia keilmuan Islam. Ia mendirikan Madrasah Sa’adah Abadiah di Sigli, menjadi ketua Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), dan dikenal luas karena kecerdasan serta ketegasannya dalam berdakwah.

“Lidah Teungku Daud sangat enteng mengeluarkan vonis haram dan kafir kepada orang yang tak disukainya ketika ia berkhotbah di masjid, dalam rapat, atau di mana saja tempat yang dianggapnya perlu,” tulis Majalah Indonesia Merdeka, 1 Oktober 1953 dikutip dari Tempo.co

PUSA berdiri pada 1939, dan dalam dinamika sejarah Aceh, ia kerap bersitegang dengan kaum uleebalang, elite lokal yang dianggap kolaborator Belanda. Ketegangan ini memuncak dalam Perang Cumbok, yang menjadi simbol konflik ideologis antara ulama dan aristokrat lokal.

Pada masa revolusi, Daud Beureueh diangkat sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta. Ia bergelar Mayor Jenderal tituler dan menjadi pemimpin penting dalam integrasi Aceh ke dalam republik.

Dari Simpatisan Republik ke Hutan Perlawanan

Pasca revolusi, hubungan Aceh dan Jakarta mengalami ketegangan. Keputusan pemerintah pusat untuk mencabut status Provinsi Aceh dan mengintegrasikannya ke dalam Sumatera Utara menjadi pemicu utama kekecewaan Daud Beureueh. Bahkan saat itu, menurut Yusril, Mohammad Natsir selaku Perdana Menteri RI menghadapi dilema berat karena harus mengeksekusi keputusan yang bertentangan dengan aspirasi orang-orang satu partai dengannya.

Saat Natsir datang ke Aceh, ia sudah terlambat. Daud Beureueh telah “menyingkir ke luar kota” dan menyatakan pembangkangan terhadap Jakarta. Melalui utusan Osman Raliby, Natsir mencoba menenangkan situasi. Namun, Daud Beureueh menjawab tegas:

 “Nasi sudah menjadi bubur.”

Meski Darul Islam/TII baru diumumkan pada 1953, bibit-bibit perlawanan sudah muncul sejak 1951. Daud Beureueh bertahan di hutan selama lebih dari satu dekade hingga akhirnya menyerah secara damai pada 1962 berkat pendekatan personal dan kekeluargaan dari Natsir.

Ulama Pejuang yang Dilupakan

Dalam pandangan Yusril, waktu telah membuktikan bahwa tokoh-tokoh seperti Mohammad Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara yang sebelumnya juga distigma sebagai pemberontak PRRI, kini diakui sebagai Pahlawan Nasional. Maka perlakuan yang sama semestinya diberikan kepada Daud Beureueh.

“Akhirnya, Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono meneken Keputusan Presiden yang memberikan gelar pahlawan nasional kepada Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara. Hal yang sama dapat dilakukan terhadap Daud Beureueh,” tutur Yusril.

Daud Beureueh wafat pada tahun 1987 dalam usia 91 tahun, dalam kondisi fisik lemah dan mata yang telah buta. Tak ada prosesi kenegaraan dalam pemakamannya. Ia dikubur nyaris seperti rakyat biasa—senyap dari penghormatan negara yang pernah ia bela dengan darah dan keringat.

Kini, ketika arus sejarah mulai dibaca ulang dengan lebih adil, Daud Beureueh muncul sebagai simbol dari pergulatan antara idealisme dan realitas kekuasaan. Waktunya sudah tiba: Republik ini berutang pengakuan terhadap satu lagi putra terbaiknya.

Redaksi

Recent Posts

Putar Musik di Tempat Usaha, Wajib Bayar Royalti?

Jakarta – Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) menegaskan setiap pelaku usaha yang memutar musik di…

20 jam ago

BI Luncurkan Payment ID, Transaksi Digital Terhubung ke NIK Mulai 17

Jakarta – Sistem keuangan digital Indonesia akan memasuki era baru. Tepat pada 17 Agustus 2025,…

3 hari ago

Bendera One Piece Berkibar Jelang HUT RI ke-80, Simbol Perlawanan atau Aksi Provokatif?

Jakarta - Menjelang Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia, simbol bajak laut fiksi One Piece…

4 hari ago

Serapan Anggaran Aceh Seret, Puluhan SKPA Alami Deviasi Negatif

Aceh – Realisasi serapan anggaran Pemerintah Aceh hingga akhir Juli 2025 tercatat masih jauh dari…

4 hari ago

DPR Setujui Abolisi Tom Lembong, Kejagung: Kami Akan Pelajari

Jakarta – Presiden Prabowo Subianto mengusulkan pemberian abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong…

5 hari ago

Truk Batu Bara Diduga Kuasai Solar Subsidi, Warga Minta Pertamina Tindak SPBU Nakal

Meulaboh – Antrean panjang kendaraan kembali terlihat di sejumlah SPBU di wilayah barat Aceh, Kamis,…

5 hari ago

This website uses cookies.