Cot Lagan — Mahasiswa Universitas Teuku Umar (UTU) yang tengah menjalani program Kuliah Kerja Nyata (KKN) Reguler XXIV di Desa Cot Lagan, Kecamatan Woyla, Kabupaten Aceh Barat, 19 Juli 2025 menyoroti dua persoalan serius yang terus berulang setiap tahun: lemahnya akses jaringan telekomunikasi dan banjir tahunan yang dampaknya semakin parah.
Selama lima hari pelaksanaan KKN di desa tersebut, mahasiswa menyaksikan langsung bagaimana kondisi tersebut mengganggu berbagai aspek kehidupan masyarakat, mulai dari sektor pendidikan, pelayanan publik, hingga aktivitas ekonomi. Persoalan serupa juga dirasakan oleh desa-desa sekitar seperti Cot Murong dan wilayah sekitarnya.
“Kami tidak sedang membicarakan persoalan baru. Masalah jaringan dan banjir ini sudah bertahun-tahun dikeluhkan warga. Yang mengkhawatirkan, justru kini kondisinya semakin buruk,” ujar Gusti Fernandi, Ketua Kelompok KKN UTU di Desa Cot Lagan.
Blank Spot Hambat Pelayanan Publik
Sebagian besar wilayah Desa Cot Lagan masih masuk kategori blank spot, di mana sinyal telekomunikasi hanya tersedia di titik-titik tertentu dan itupun sangat tidak stabil. Kondisi ini menyulitkan aparatur gampong dalam menjalankan pelayanan berbasis digital.
Gangguan jaringan berdampak langsung pada proses belajar-mengajar, komunikasi antarwarga, dan administrasi desa yang kini dituntut untuk beralih ke sistem daring. Menurut warga, pengaduan telah berkali-kali disampaikan ke pemerintah kabupaten, namun hingga kini belum terlihat tindak lanjut yang konkret.
Banjir Tahunan Kini Datang Lebih Cepat
Masalah banjir menjadi ancaman rutin setiap musim hujan. Namun, warga mengaku dalam beberapa tahun terakhir, banjir datang lebih cepat dan tidak terduga. Hujan deras semalam saja sudah cukup menyebabkan air naik dan merendam permukiman.
Kondisi ini membuat warga sulit bersiap, memperbesar kerugian, dan semakin mengisolasi desa dari akses luar. Dunia pendidikan menjadi salah satu sektor yang terdampak parah. Guru-guru yang berasal dari luar desa sering tidak bisa hadir karena akses jalan terputus. Di wilayah seperti Ateung Teupat, guru bahkan harus menggunakan rakit berbayar Rp20.000 per motor untuk menyebrang, meski risiko keselamatan tetap tinggi.
salah satu sekolah seperti SMP Cot Murong tercatat beberapa kali terpaksa menghentikan kegiatan belajar selama banjir berlangsung.
“Ini bukan lagi soal jalan yang tergenang, tapi tentang akses warga yang benar-benar lumpuh. Ketika guru tidak bisa datang dan warga tak bisa keluar desa, artinya sistem kita gagal melindungi mereka,” tegas Fernandi.
Desakan kepada Pemerintah Kabupaten dan Provinsi
Berdasarkan temuan di lapangan, mahasiswa KKN UTU mendesak Pemerintah Kabupaten Aceh Barat dan Pemerintah Provinsi Aceh untuk segera mengambil langkah nyata dan terukur dalam menangani kedua persoalan tersebut.
“Kami memang hanya tinggal sementara di desa ini. Tapi warga akan terus hidup di tengah persoalan ini. Kami berharap pemerintah segera menindaklanjuti temuan ini dengan kebijakan dan tindakan konkret,” tutup Fernandi.
Jakarta – Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) menegaskan setiap pelaku usaha yang memutar musik di…
Jakarta – Sistem keuangan digital Indonesia akan memasuki era baru. Tepat pada 17 Agustus 2025,…
Jakarta - Menjelang Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia, simbol bajak laut fiksi One Piece…
Aceh – Realisasi serapan anggaran Pemerintah Aceh hingga akhir Juli 2025 tercatat masih jauh dari…
Jakarta – Presiden Prabowo Subianto mengusulkan pemberian abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong…
Meulaboh – Antrean panjang kendaraan kembali terlihat di sejumlah SPBU di wilayah barat Aceh, Kamis,…
This website uses cookies.