Pagi yang kelabu menyelimuti Desa Karang Ampar, Kecamatan Ketol, Kabupaten Aceh Tengah, saat warga menemukan seekor gajah sumatera jantan tergeletak mati di kebun masyarakat. Berdasarkan laporan, gajah tersebut tewas akibat sengatan listrik dari pagar yang dipasang warga untuk menghalau satwa liar (Kompas.com, 2024).
Peristiwa serupa telah berulang di berbagai wilayah Aceh. Gajah yang tersesat ke permukiman kerap berakhir tragis. Namun, akar masalahnya jauh lebih dalam: kerusakan habitat yang semakin parah akibat ekspansi manusia. Ketika hutan dikonversi menjadi kebun, tambang, atau infrastruktur, gajah kehilangan ruang hidup dan terpaksa menyusuri ladang dan desa demi bertahan hidup.
Di Kecamatan Sungai Mas, Kabupaten Aceh Barat, sekitar 38 hektare kebun sawit warga rusak akibat gangguan gajah dalam rentang 2023–2025 (Antaranews.com, 2024). Ini bukan semata-mata akibat perilaku liar gajah, melainkan dampak dari menyempitnya habitat mereka.
Pertanyaannya: siapa sebenarnya yang bertindak liar, gajah atau kita?
Gajah Sumatera: Satwa Terdesak di Tanah Sendiri
Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus), subspesies endemik Sumatera, kini berstatus Kritis (Critically Endangered) menurut IUCN. Populasinya di Aceh menyusut dari sekitar 800 individu pada 2003 menjadi 539 individu pada 2020 (BKSDA Aceh).
Faktor utama penyusutan ini adalah alih fungsi hutan untuk perkebunan sawit, hutan tanaman industri (HTI), serta tambang. Fragmentasi hutan menyebabkan terputusnya jalur migrasi alami gajah. Pembangunan jalan dan kebakaran hutan memperparah situasi (Mongabay.co.id, 2022).
Akibat kehilangan habitat, gajah terpaksa keluar dari kawasan hutan yang tersisa dan menjelajah ke kebun, ladang, hingga permukiman. Mereka tidak sedang “menyerang” manusia, melainkan sedang berusaha bertahan hidup di tengah ruang yang terus menyempit. Gajah, dalam hal ini, menjadi korban dari kebijakan pembangunan yang tak memperhitungkan daya dukung ekologis lanskap Sumatera.
Konflik Satwa-Manusia: Dampak Lanskap yang Rusak
Sekitar 85% habitat gajah sumatera kini berada di luar kawasan konservasi dan telah tumpang tindih dengan konsesi industri (Mongabay.co.id, 2024). Data BKSDA Aceh menunjukkan, sejak 2019 hingga Oktober 2023, terjadi 583 kasus konflik antara manusia dan gajah liar. Rinciannya, 106 kasus pada 2019, 111 kasus (2020), 145 kasus (2021), 136 kasus (2022), dan 85 kasus hingga Oktober 2023. (RRI.co.id, 2024).
Kerugian material dan psikologis dialami warga, sementara gajah kerap berakhir tragis: diracun, terjerat, atau tersengat listrik. Dalam laporan RRI.co.id (2024), seekor gajah mati di Aceh Timur diduga karena memakan pupuk yang mengandung bahan kimia berbahaya, memperlihatkan bagaimana ancaman terhadap satwa kini kian kompleks dan tak kasat mata.
Ketegangan ini menciptakan siklus kekerasan yang terus berulang. Warga merasa terancam karena ladang mereka rusak, sementara gajah terus terdesak karena habitatnya makin sempit. Di tengah kondisi ini, solusi jangka pendek seperti pemasangan pagar listrik sering kali justru memperbesar risiko bagi kedua belah pihak.
Gajah bukan penyerang, melainkan pengungsi ekologis. Mereka adalah makhluk dengan kecerdasan dan ikatan sosial tinggi yang kini kehilangan arah, meraba-raba sisa-sisa ruang hidup yang telah tercerabut oleh rakusnya pembangunan.
Tambang Ilegal di Aceh: Ancaman Nyata bagi Habitat Gajah dan Kehidupan Warga
Aceh, dalam beberapa tahun terakhir, provinsi ini menjadi ladang subur bagi aktivitas tambang ilegal yang kian merajalela. Aktivitas tambang tanpa izin ini tidak hanya merusak ekosistem hutan, tetapi juga menjadi salah satu penyebab utama konflik antara manusia dan satwa liar, khususnya gajah Sumatera yang kini makin sering masuk ke kebun-kebun warga.
Hutan yang dulunya menjadi rumah aman bagi gajah kini terkoyak oleh alat berat dan eksploitasi liar. Saat habitat mereka rusak dan sumber makanan alami menghilang, gajah-gajah terpaksa keluar dari kawasan hutan dan menjelajahi permukiman hingga kebun warga demi bertahan hidup. Fenomena ini bukan sekadar konflik biasa, melainkan dampak dari ketidakadilan ekologis yang diakibatkan oleh pembiaran dan lemahnya penegakan hukum terhadap praktik tambang ilegal.
Kebijakan Tata Ruang: Keberpihakan pada Kapital
Alih-alih melindungi koridor satwa liar, kebijakan tata ruang di Aceh dan nasional justru memberikan izin konsesi kepada korporasi besar. Menteri LHK memang mencabut delapan izin perusahaan pada Januari 2022 (KLHK, 2022), namun belum menyentuh area yang vital bagi satwa. Di sisi lain, izin baru terus bermunculan. Penyusunan tata ruang yang lebih berpihak pada kepentingan ekonomi jangka pendek ketimbang kelestarian jangka panjang menyebabkan kawasan esensial—seperti jalur migrasi gajah—diabaikan dalam perencanaan.
Proses penetapan kebijakan pun sering kali minim partisipasi masyarakat sipil dan ilmuwan lingkungan. Negara justru melegitimasi eksploitasi ruang hidup satwa yang dilindungi. Gajah kehilangan rumah karena izin yang sah di atas kertas namun cacat secara ekologis. Paradoks ini menunjukkan bahwa legalitas tidak selalu sejalan dengan keadilan ekologis. Dalam kerangka pembangunan yang mengutamakan kapital, habitat gajah hanya dianggap sebagai ruang kosong yang siap dikonversi, bukan sebagai ruang hidup yang memiliki nilai intrinsik dan sosial ekologis.
Negara justru melegitimasi eksploitasi ruang hidup satwa yang dilindungi. Gajah kehilangan rumah karena izin yang sah di atas kertas namun cacat secara ekologis.
Presiden Prabowo Sumbangkan 20.000 Hektar Lahan Pribadi untuk Konservasi Gajah di Aceh
Dalam kunjungan kerja ke Inggris yang disertai pertemuan dengan Raja Charles III, Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, menerima permintaan dari World Wide Fund for Nature (WWF) untuk menyediakan 10.000 hektar lahan di Aceh sebagai wilayah konservasi gajah. Permintaan tersebut disampaikan langsung oleh WWF dalam forum resmi yang juga dihadiri oleh Kepala Kantor Komunikasi Presiden, Hasan Nasbi.
Menanggapi permintaan tersebut, Presiden Prabowo menyumbangkan 20.000 hektar lahan miliknya sendiri untuk konservasi gajah. Lahan tersebut nantinya akan dikelola oleh WWF sebagai bagian dari upaya bersama menjaga habitat gajah Sumatera dan memperkuat agenda konservasi lingkungan di Indonesia.
Solusi dari Akar: Keadilan Ekologis dan Reforma Agraria
Solusi tidak bisa berhenti pada pagar listrik atau patroli. Diperlukan reforma agraria ekologis yang menempatkan keberlanjutan sebagai prinsip utama. Restorasi hutan dan penataan tata ruang berbasis keadilan ekologis adalah kunci. Upaya ini tidak hanya menyasar perlindungan terhadap satwa liar, tetapi juga mengutamakan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan.
Contoh baik muncul di Desa Mane, Kabupaten Pidie. Warga secara swadaya membangun pagar kejut dan sistem peringatan dini agar kebun tetap aman tanpa mencelakai gajah (Mongabay.co.id, 2022). Pendekatan kolaboratif seperti ini juga mulai diterapkan di sejumlah wilayah lain seperti di Kabupaten Aceh Jaya dan Aceh Timur, di mana masyarakat, LSM, dan pemerintah bekerja bersama merancang strategi mitigasi konflik berbasis kearifan lokal. Model ini menunjukkan bahwa solusi ekologis bisa dicapai tanpa mengorbankan keamanan warga maupun keberlangsungan hidup satwa liar.
Menuntut Ruang Hidup yang Adil
Konflik ini mencerminkan benturan antara sistem ekonomi eksploitatif dan keberlanjutan kehidupan. Gajah dan warga desa sama-sama menjadi korban tata kelola ruang yang tidak adil.
Siapa yang memiliki kuasa atas ruang hidup? Apakah masyarakat adat yang menjaga hutan? Ataukah pejabat yang menandatangani izin di ruang rapat?
Ketika hutan dijadikan komoditas, yang terpinggirkan bukan hanya satwa, tetapi juga martabat manusia yang hidup berdampingan dengan alam.
Berpihak pada kehidupan bukan sekadar pilihan, melainkan mandat moral dan politis.
“Jika hutan adalah rumah gajah, maka siapa kita yang menebangnya?”
Penulis : Khavi Badrian
Jakarta – Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) menegaskan setiap pelaku usaha yang memutar musik di…
Jakarta – Sistem keuangan digital Indonesia akan memasuki era baru. Tepat pada 17 Agustus 2025,…
Jakarta - Menjelang Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia, simbol bajak laut fiksi One Piece…
Aceh – Realisasi serapan anggaran Pemerintah Aceh hingga akhir Juli 2025 tercatat masih jauh dari…
Jakarta – Presiden Prabowo Subianto mengusulkan pemberian abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong…
Meulaboh – Antrean panjang kendaraan kembali terlihat di sejumlah SPBU di wilayah barat Aceh, Kamis,…
This website uses cookies.