Ekonomi

Empat Pulau Diperebutkan, Dewan Aceh Turun ke Perairan

ACEH – Empat pulau di perairan Singkil Utara kembali jadi panggung tarik-menarik wilayah antara Aceh dan Sumatera Utara. Selasa pagi, 3 Juni 2025, anggota DPR RI dan DPD RI asal Aceh, yang tergabung dalam Forum Bersama (Forbes), berangkat bersama ratusan warga untuk mengepung Pulau Panjang, Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, dan Pulau Lipan.

Aksi simbolik ini bukan gerakan spontan. Ia diputuskan dalam pertemuan lintas tokoh, yang digelar Senin malam di pendopo Bupati Aceh Singkil, Pulo Sarok. Forum itu dihadiri unsur pemerintah daerah, tokoh masyarakat, dan perwakilan Forbes yang belakangan kian lantang menyuarakan sikap atas status hukum keempat pulau.

Persoalan status administratif keempat pulau ini memang bukan isu baru. Namun sejak intensitas kunjungan aparat dari luar Aceh ke pulau-pulau itu meningkat, suara protes dari warga lokal kembali menguat. Bagi banyak pihak di Aceh Singkil, ini bukan sekadar perkara peta—melainkan soal identitas dan kedaulatan.

Dari Laut Singkil ke Pendopo Banda Aceh : Politik Kolaborasi atau Klaim Baru?

Sehari setelah perahu-perahu nelayan dan rombongan Forbes DPR/DPD RI asal Aceh mengepung empat pulau di perairan Singkil, rombongan lain tiba di Banda Aceh. Bukan dari Jakarta, melainkan dari Medan. Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, datang langsung menemui Gubernur Aceh, Muzakir Manaf—yang lebih dikenal sebagai Mualem.

Pertemuan berlangsung di Pendopo Gubernur Aceh pada Rabu, 4 Juni 2025. Bobby tak datang sendiri. Ia didampingi Bupati Tapanuli Tengah, Masinton Pasaribu, serta sejumlah pejabat strategis. Isu yang dibawa: status empat pulau yang selama ini diklaim sebagai wilayah Aceh, namun dalam putusan administratif terbaru justru dinyatakan masuk ke wilayah Sumut.

“Kami hadir di sini untuk bisa sama-sama meredam ataupun bisa sama-sama menyepakati apa yang harus kita sepakati bersama dengan Pak Gubernur Aceh,” ujar Bobby kepada wartawan, dikutip dari detikSumut, sebagaimana yang di langsir dari detikSumut.

Alih-alih bersikeras dengan keputusan pusat, Bobby menawarkan pendekatan baru: kolaborasi. Ia mengusulkan agar empat pulau itu dikelola bersama. Bukan dikuasai sepihak, bukan pula jadi alat tarik-menarik politik identitas.

Haji Uma: Tak Masuk Akal Argumen Gubernur Sumut Soal “Kelola Bersama”

Anggota DPD RI asal Aceh, H. Sudirman atau yang akrab disapa Haji Uma, buka suara terkait pernyataan Gubernur Sumatera Utara soal pengelolaan bersama blok migas di wilayah perairan Aceh. Ia menilai wacana tersebut tidak berdasar dan bertentangan dengan prinsip hukum yang mengatur hak pengelolaan sumber daya alam.

“Kalau bukan hak kita, untuk apa dikelola bersama? Harus jelas dulu, kerja samanya seperti apa. Kalau cuma soal akses jalan atau jalur distribusi, itu bisa saja. Tapi kalau soal pengelolaan blok migas, yang secara legalitas berada di wilayah kita, kenapa harus berbagi?” kata Haji Uma, dalam pernyataan yang disampaikan di acara aspirasi masyarakat, meulaboh Rabu (5/6).

Menurut Haji Uma, konsep “kelola bersama” menjadi rancu bila tidak dilandasi hak legal dan mekanisme pembagian hasil yang sudah diatur undang-undang. Dalam konteks blok migas yang dimaksud, kata dia, skema pembagian hasil antara pusat dan daerah sudah diatur secara tegas: 70 persen untuk Aceh dan 30 persen untuk pusat.

“Kalau dibagi lagi dengan provinsi lain, pola 70:30 itu bisa terganggu. Apalagi kalau Sumut bukan pemodal. Ini bukan soal kerja sama biasa, ini soal hak wilayah dan legalitas,” tegasnya.

Ia menambahkan, Aceh tidak mungkin mati-matian mempertahankan sesuatu jika memang bukan haknya. Namun dalam kasus ini, perjuangan yang gigih justru menunjukkan bahwa wilayah dan sumber daya itu secara sah berada dalam wilayah kewenangan Aceh.

“Kalau logika kelola bersama dipakai di sini, kenapa tidak diberlakukan juga untuk blok gas Arun, atau gas Medco yang ada di Idi? Kenapa kita tidak ajak kerja sama juga di situ?” ujarnya retoris.

Lebih lanjut, Haji Uma mengaku mendapatkan informasi bahwa sejumlah pulau di sekitar wilayah sengketa menyimpan potensi sumber daya alam yang besar. “Kalau benar itu wilayah kita, maka kita harus mempertahankannya. Dan kalau cuma soal pipanisasi atau alur distribusi, ya silakan saja seperti yang sudah berjalan selama ini,” katanya.

 

 

 

 

 

 

Redaksi

Recent Posts

Putar Musik di Tempat Usaha, Wajib Bayar Royalti?

Jakarta – Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) menegaskan setiap pelaku usaha yang memutar musik di…

20 jam ago

BI Luncurkan Payment ID, Transaksi Digital Terhubung ke NIK Mulai 17

Jakarta – Sistem keuangan digital Indonesia akan memasuki era baru. Tepat pada 17 Agustus 2025,…

3 hari ago

Bendera One Piece Berkibar Jelang HUT RI ke-80, Simbol Perlawanan atau Aksi Provokatif?

Jakarta - Menjelang Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia, simbol bajak laut fiksi One Piece…

4 hari ago

Serapan Anggaran Aceh Seret, Puluhan SKPA Alami Deviasi Negatif

Aceh – Realisasi serapan anggaran Pemerintah Aceh hingga akhir Juli 2025 tercatat masih jauh dari…

4 hari ago

DPR Setujui Abolisi Tom Lembong, Kejagung: Kami Akan Pelajari

Jakarta – Presiden Prabowo Subianto mengusulkan pemberian abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong…

5 hari ago

Truk Batu Bara Diduga Kuasai Solar Subsidi, Warga Minta Pertamina Tindak SPBU Nakal

Meulaboh – Antrean panjang kendaraan kembali terlihat di sejumlah SPBU di wilayah barat Aceh, Kamis,…

5 hari ago

This website uses cookies.