Foto ilustrasi
Nagan Raya — Suasana markas Batalyon Infanteri Teritorial Pembangunan (Yonif TP) 856/Satria Bumi Sakti (SBS) di Kecamatan Beutong, Nagan Raya, tampak lebih ramai dari biasanya. Kamis malam, 10 Juli 2025, sebanyak 180 prajurit baru kembali tiba setelah menempuh perjalanan darat dari Banda Aceh. Mereka adalah bagian dari gelombang kedua penempatan pasukan untuk batalyon anyar di wilayah barat selatan Aceh.
Dengan kedatangan ini, jumlah total prajurit yang mengisi batalyon tersebut mencapai 417 orang. Sebelumnya, pada penempatan perdana, sebanyak 237 prajurit telah lebih dulu menempati barak yang dulu dikenal sebagai Kompi B Yonif 116/Garda Samudera.
Seremoni penyambutan berlangsung formal dan meriah. Danrem 012/TU Kolonel Inf Benny Rahadian, didampingi Bupati Nagan Raya Dr. TR Keumangan, hadir langsung untuk menerima pasukan. Hadir pula pejabat-pejabat kunci dari jajaran militer dan sipil: Dircab Puskesad Brigjen TNI dr. Ponco Pramono, Ketua DPRK Nagan Raya Moch Rizky Ramadhan, hingga tokoh-tokoh masyarakat Beutong.
Danyonif TP 856/SBS Letkol Inf Indra Rukmana yang baru saja dilantik, memimpin langsung upacara penyambutan anak buahnya. Bupati TRK memakaikan kalung bunga kepada sang komandan sebagai simbol kehadiran resmi di bumi Nagan Raya.
Namun di balik gegap gempita barisan prajurit dan lambaian bendera, sebagian masyarakat menyimpan tanya: untuk apa semua ini?
Investasi Militer di Tanah Damai
Sejak awal 2024, Kementerian Pertahanan Republik Indonesia menggulirkan wacana ambisius: membangun enam batalyon TNI Angkatan Darat di Aceh, dengan nilai kontrak menembus Rp238,2 miliar. Lokasi yang disasar mencakup Aceh Singkil, Nagan Raya, Pidie, Gayo Lues, Aceh Tengah, dan Aceh Timur.
Belakangan, rencana pembangunan di Aceh Singkil dibatalkan. Tapi lima batalyon lainnya tetap berjalan. Salah satunya, tentu saja, di Nagan Raya.
Masuknya Yonif 856/SBS dalam jajaran batalyon aktif di Aceh tak pelak memunculkan berbagai penafsiran. Secara formal, ini adalah bagian dari pembentukan batalyon teritorial baru yang dirancang untuk mendekatkan TNI kepada masyarakat dan memperkuat sistem pertahanan wilayah.
Namun di sisi lain, sebagian publik melihatnya sebagai langkah mundur dari semangat perdamaian. Sejumlah aktivis dan pengamat mengingatkan kembali pada Nota Kesepahaman Helsink, yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia. Salah satu butir utama perjanjian itu menyatakan bahwa penambahan pasukan non-organik TNI dan Polri di Aceh harus melalui persetujuan bersama dan bersifat terbatas.
Ketegangan dalam Sunyi
Hingga saat ini, belum ada penjelasan terbuka dari Pemerintah Aceh maupun DPR Aceh soal konsultasi publik atau mekanisme persetujuan terhadap proyek-proyek militer tersebut. Tak ada juga informasi yang gamblang mengenai dampak sosial atau lingkungan dari kehadiran batalyon-batalyon baru itu.
Kekhawatiran bukan tanpa alasan. Ingatan kolektif masyarakat Aceh terhadap trauma militer di masa lalu masih segar. Khususnya di kawasan seperti Beutong, yang pada masa konflik menjadi salah satu titik operasi militer paling intensif.
Kini, dua dekade setelah perdamaian diteken, Beutong kembali menjadi markas pasukan. Sebuah lingkaran sejarah yang berulang.
Wajah Ganda Pertahanan
Kehadiran Yonif 856/SBS juga menimbulkan pertanyaan lanjutan: bagaimana nasib penataan pertahanan dalam skema Otonomi Khusus Aceh? Di tengah ketimpangan pembangunan, kemiskinan struktural, dan pengangguran yang tinggi, sebagian pihak menilai pembangunan batalyon baru bukan prioritas.
Di sisi lain, para pejabat dan petinggi militer meyakinkan bahwa kehadiran Yonif 856/SBS akan memberi kontribusi positif dalam aspek sosial, ekonomi, dan keamanan. Namun sejauh ini, belum terlihat skema konkret kolaborasi antara pasukan dengan masyarakat sipil.
Ujian atas Perjanjian
Pembangunan batalyon baru di Aceh adalah soal pilihan politik — bukan sekadar kebijakan administratif. Di negeri yang menyandang status otonomi khusus, setiap keputusan menyangkut keamanan harusnya melalui kanal politik yang inklusif dan akuntabel.
Hadirnya 417 prajurit baru di Nagan Raya boleh jadi menambah rasa aman. Tapi jika tanpa partisipasi dan transparansi, keamanan itu bisa berubah menjadi kegelisahan.
Seperti kata orang Aceh, “peu haba nyan beuna, tapi peu hikmah nyan hana ta peugah.” Kita tahu apa yang terjadi, tapi hikmahnya belum tentu jelas.
Jakarta – Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) menegaskan setiap pelaku usaha yang memutar musik di…
Jakarta – Sistem keuangan digital Indonesia akan memasuki era baru. Tepat pada 17 Agustus 2025,…
Jakarta - Menjelang Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia, simbol bajak laut fiksi One Piece…
Aceh – Realisasi serapan anggaran Pemerintah Aceh hingga akhir Juli 2025 tercatat masih jauh dari…
Jakarta – Presiden Prabowo Subianto mengusulkan pemberian abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong…
Meulaboh – Antrean panjang kendaraan kembali terlihat di sejumlah SPBU di wilayah barat Aceh, Kamis,…
This website uses cookies.