“Pengawasan dilakukan ke semua perusahaan, bukan hanya Mifa saja. Insya Allah semua perusahaan wellcome, kecuali Mifa yg menolak untuk dievaluasi” tulis Tarmizi dalam unggahan di Facebook.
Pada tahun 2024, total dana Corporate Social Responsibility (CSR) di Aceh Barat mencapai Rp55 miliar, yang bersumber dari 11 perusahaan. Sebagian besar dana berasal dari PT Mifa Bersaudara dengan kontribusi sebesar Rp52,5 miliar. Sementara itu, beberapa perusahaan lain menyumbang dalam jumlah yang lebih kecil, seperti PT AJB (Rp350 juta), PT IPE (Rp385 juta), PT KTS (Rp550 juta), Bank Aceh (Rp250 juta), Bank Syariah Indonesia (Rp550 juta), dan PT Pertamina (Rp200 juta). Sisanya berasal dari berbagai perusahaan dengan kontribusi di bawah Rp200 juta.
“Dari total dana CSR sebesar Rp52,5 miliar, realisasinya hanya Rp27 miliar atau sekitar 47,3 persen. Sisanya ke mana? Apakah Rp27 miliar itu sudah tepat sasaran sesuai harapan masyarakat?” Lanjutnya.
Tarmizi juga mengatakan jika dirinya tidak anti investasi, dan juga ingin investor nyaman. Namun juga tidak ingin “dijajah” apalagi oleh oknum-oknum yang money oriented. “Kita tunggu, semoga direksi nanti akan hadir, krn sebelumnya kita undang baik-baik belum bisa hadir”.
Wangsa Soroti Audit CSR PT Mifa Bersaudara
Pemerintah Kabupaten Aceh Barat sebelumnya mengeluarkan kebijakan untuk mengaudit investigatif terhadap pengelolaan dan penyaluran dana Corporate Social Responsibility (CSR). Langkah ini didukung oleh berbagai elemen setelah selama ini pemerintah dianggap “lalai” mengawasi sektor ini.
Jhony Howord, Ketua Wahana Generasi Aceh (Wangsa), menilai bahwa kebijakan ini adalah langkah tepat yang selama ini belum pernah diambil oleh pemimpin daerah sebelumnya. “Banyak pihak menyoroti hal ini, Cuma baru sekarang Pemerintah tidak menutup mata lagi, ini langkah progresif yang dibutuhkan Aceh Barat” ujar Jhony.
Jhony mengatakan, dengan langsung mengarahkan fokus pada PT. Mifa Bersaudara, Pemkab menunjukkan keberanian untuk menantang struktur kekuasaan ekonomi yang selama ini sulit disentuh. “Ini adalah strategi yang tepat, jika perusahaan sebesar PT Mifa Bersaudara bisa dibuat untuk lebih transparan dan bertanggung jawab, maka perusahaan lain tidak akan bisa lagi berlindung di balik kepentingan elite. Sebaliknya, jika perjuangan dimulai dari perusahaan kecil, maka butuh waktu yang lebih lama untuk benar-benar menggoyang aktor-aktor besar yang selama ini leluasa beroperasi tanpa pengawasan ketat” Sebut Jhony.
Dia menduga langkah pemerintah daerah dipicu oleh distribusi dana CSR di Aceh Barat tidak transparan, terdapat dugaan program fiktif, dan alokasi yang tidak merata. Salah satu contoh yang disoroti pemkab adalah rencana pembangunan sebuah klinik kesehatan oleh PT Mifa Bersaudara di Kecamatan Meureubo yang diduga bersumber dari dana CSR, namun kepemilikannya justru jatuh ke perusahaan.
Menurut Jhony, Langkah ini bukan sekadar audit CSR, melainkan momentum penting, dan jika berhasil, akan menjadi preseden bagi tata kelola yang lebih baik.
Mengganggu Investasi, Ancaman pekerja Lokal, dan Humas Dadakan
Dia juga mengatakan bahwa transparansi dan akuntabilitas perusahaan justru akan membawa manfaat jangka panjang bagi masyarakat Aceh Barat. Jika kebijakan ini terus berlanjut, yang sebenarnya terancam bukanlah kesejahteraan rakyat, tetapi praktik-praktik tidak transparan yang selama ini menguntungkan segelintir elite.
Selama ini, masyarakat hanya menjadi penonton sementara perusahaan besar mengeruk sumber daya tanpa manfaat yang jelas bagi masyarakat. “Justru dengan adanya pengawasan ketat, peluang kerja yang layak, distribusi dana CSR yang benar-benar menyentuh rakyat, dan keseimbangan antara kepentingan bisnis dan kesejahteraan masyarakat bisa lebih terjamin” Tutur Jhony Howord
Sayangnya, dalam situasi seperti ini, muncul fenomena “humas dadakan” Perusahaan, pihak-pihak yang tiba-tiba sibuk membela korporasi dengan narasi bahwa kebijakan ini akan merugikan Masyarakat, sebut Jhony.
“Padahal, justru praktik pengelolaan CSR yang tidak transparan selama ini telah merugikan masyarakat Aceh Barat. Jika perusahaan benar-benar menjalankan tanggung jawab sosialnya dengan baik, mereka seharusnya tidak perlu takut pada audit dan evaluasi kebijakan” Tuturnya.
Jhony juga menilai banyak reaksi yang justru tidak terfokus pada akar persoalan utama. Padahal, tujuan dari kebijakan ini sangat jelas, memastikan dana CSR tidak lagi dimainkan oleh perusahaan dan benar-benar digunakan untuk kepentingan Masyarakat.
Audit CSR Sudah Lama di Suarakan
Desakan untuk transparansi dan Audit CSR bukan sesuatu yang baru, melainkan telah lama disuarakan oleh berbagai elemen. Pada 24 Oktober 2022, Ahmad Yani meminta Pj Bupati Mahdi Efendi untuk membuat kebijakan yang memungkinkan dilakukannya audit terhadap program Corporate Social Responsibility (CSR) di Aceh Barat.
Selain Ahmad Yani, Pimpinan Pondok Pesantren Buket Eqra al Haramen Meulaboh, Tengku Haramen Nuriqman alias Abu Meulaboh, juga mempertanyakan realisasi dana PT Mifa Bersaudara.
Karena menurut Abu Meulaboh, pembagian dana CSR PT Mifa Bersaudara hanya kegiatan seremonial. Namun tidak berkelanjutan. Abu Meulaboh menyebutkan, apa yang sudah disumbangkan perusahaan batu bara itu tak sebanding dengan Sumber Daya Alam (SDA) yang sudah diambil, dikutip dari AJNN (21 Agustus 2023).
Bukan Sekadar Ranah Pemkab: Wangsa Dukung Audit CSR
Jhony Howord, menegaskan bahwa pihaknya telah lama mendorong perusahaan di Aceh Barat untuk lebih berkontribusi terhadap sektor pendidikan melalui dana Corporate Social Responsibility (CSR). Sebelumnya, Tahun lalu Wangsa bahkan telah menggelar aksi di depan DPRK Aceh Barat guna mendesak perusahaan memenuhi tanggung jawab sosial mereka. Namun, upaya tersebut tidak membuahkan hasil yang signifikan.
Oleh karena itu, ketika kebijakan audit CSR akhirnya diinisiasi oleh Bupati Aceh Barat, Wangsa menyatakan dukungan penuh terhadap langkah progresif ini.
Apa yang ditakutkan Perusahaan?
Menurut Jhony, Ketakutan perusahaan terhadap audit CSR oleh pemerintah menunjukkan adanya potensi penyalahgunaan dana atau pengelolaan yang tidak transparan. Seharusnya, jika CSR memang dijalankan sesuai dengan regulasi dan untuk kepentingan masyarakat, perusahaan tidak perlu khawatir terhadap audit malahan ini peluang bagus. Namun, dalam praktiknya,secara tidak langsung terkesan adanya perlawanan terhadap audit, yang justru menimbulkan kecurigaan publik.
“secara ilmu ekonomi tentang Perspektif Investor, Audit Dana CSR Meningkatkan Daya Tarik Investasi, hal tersebut dapat memberikan jaminan bahwa perusahaan tidak akan terlibat dalam skandal yang dapat merusak nilai saham, kan peluang bagus itu” tuturnya.
Wangsa Luncurkan Petisi Dukung Audit CSR
Wahana Generasi Aceh (Wangsa) juga meluncurkan petisi publik untuk mengajak masyarakat mendukung rencana audit terhadap Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan (TJSLP) di Aceh Barat. Menurut Jhony Howord, petisi ini merupakan langkah konkret untuk mendukung kebijakan Bupati Aceh Barat secara eksternal, serta memperkuat desakan agar pengelolaan dana CSR lebih transparan dan tepat sasaran.
PT Mifa Bersaudara Tolak Audit
PT Mifa Bersaudara menyayangkan beberapa tindakan pemerintah Aceh Barat yang dinilai tendensius terhadap perusahaan beberapa waktu ini.
Perusahaan sudah beroperasi lebih dari satu dekade, PT Mifa Bersaudara telah memberikan kontribusi besar bagi Aceh Barat melalui program Corporate Social Responsibility (CSR), pajak daerah, dan penyerapan tenaga kerja.
Presiden Direktur PT MIFA Bersaudara, Ricky Nelson, Selasa, 25 Maret 2025, dalam pernyataan tertulisnya, mengharapkan, setiap investor dan perusahaan yang menjalankan usahanya di Aceh Barat diperlakukan sebagai mitra pemerintah.
“Keberadaan kami turut mendukung pertumbuhan ekonomi daerah dan perbaikan lainnya yang langsung terlihat di Aceh Barat,” pungkasnya.
Ricky menuturkan PT Mifa bahkan memberikan kontribusi signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh Barat, yang sejak beberapa tahun terakhir menjadi kabupaten dengan PAD tertinggi di Aceh.
Perusahaan menilai upaya Inspektorat Kabupaten Aceh Barat untuk melakukan audit terhadap tata kelola dana Corporate Social Responsibility (CSR) melalui inspektorat sebagai tindakan yang tidak memiliki dasar hukum.
Situasi ini semakin diperburuk dengan pemasangan plang pada tanah Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Kementerian Transmigrasi di wilayah operasional pertambangan milik PT Mifa Bersaudara, tanpa koordinasi yang jelas.
PT Mifa Bersaudara Kirimkan Surat Keberatan dan Tolak Rencana Audit
Perusahaan juga mempertanyakan sikap Pemkab Aceh Barat yang justru terkesan menargetkan Mifa, sementara masih banyak perusahaan tambang lain di Aceh Barat yang nyaris tidak beroperasi dan belum memberikan kontribusi nyata kepada pemerintah maupun masyarakat.
“Kenapa justru kami yang sudah terbukti menciptakan sekian banyak lapangan kerja, meningkatkan ekonomi daerah dan regional serta program kepedulian masyarakat lainnya dengan baik dan berkelanjutan malah menjadi sasaran audit, sementara masih banyak perusahaan lain yang belum berkontribusi optimal,” paparnya.
Ricky menambahkan bahwa pada tahun 2024, PT Mifa telah melalui serangkaian pemeriksaan, termasuk evaluasi oleh Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Aceh DPRA yang dalam hasil evaluasinya menyatakan bahwa PT Mifa telah menjalankan kewajiban CSR dengan baik.
Manajemen mengharapkan jika ada hal-hal yang perlu diperbaiki dalam menjalan operasi, pemenuhan kewajiban termasuk perbaikan program CSR.
“Kami siap bersinergi dengan pemerintah agar program ini semakin tepat sasaran. Jangan menjadi polemik yang tidak menyelesaikan masalah dengan menjadikan Mifa sebagai target audit tanpa dasar, apalagi melibatkan Inspektorat yang tidak memiliki kewenangan dalam hal ini,” sambungnya.
Polemik Pemasangan Palang
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Barat melalui Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD), Zulyadi, menjelaskan bahwa fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos) yang selama ini disewa oleh PT. Mifa Bersaudara telah diatur dalam kesepakatan bersama Nomor 900/I/II/2016 tanggal 18 April 2016, dengan luas mencapai 75,805 hektare.
Dilansir dari Harian Rakyat Aceh, Zulyadi mengungkapkan bahwa kesepakatan tersebut mengacu pada Berita Acara Serah Terima Ex Proyek Transmigrasi dari Gubernur Aceh kepada Bupati Aceh Barat pada 3 Desember 1991, yang menyatakan bahwa kawasan tersebut berada di bawah kewenangan Pemkab Aceh Barat. Selain itu, kepemilikan lahan tersebut juga diperkuat dengan beberapa sertifikat tanah yang telah diterbitkan.
Masih menurut Harian Rakyat Aceh, sebagai bagian dari langkah pengamanan aset daerah, tim yang terdiri dari BPKD, Dinas Pertanahan, Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja, Dinas PUPR, serta Satpol PP WH telah melakukan pemasangan papan nama kepemilikan di lokasi yang termasuk dalam Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik PT. Mifa Bersaudara dan PT. Indonesia Pasifik Energi di Gampong Sumber Batu, Kecamatan Meureubo.
Respon Perusahaan Terkait Pemasangan Palang HPL
Pihak MIFA juga menyoroti tindakan pemasangan palang kepemilikan tanah Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Kementerian Transmigrasi di wilayah operasional tambang Mifa.
Menurutnya, status tanah HPL tersebut masih dalam tahap evaluasi oleh Kementerian Transmigrasi, dan Mifa tidak memiliki keterlibatan dalam persoalan tersebut.
Ada tuduhan seolah-olah pihak perusahaan bekerja sama dengan Kementerian Transmigrasi untuk merebut aset daerah. Ini adalah tuduhan provokatif dan tidak benar.
“Seharusnya, Pemkab Aceh Barat berkomunikasi langsung dengan Kementerian, bukan justru menjadikan Mifa sebagai pihak yang terdampak,” tegasnya.
Pihaknya juga menyayangkan tindakan masuk tanpa izin serta pemasangan plang di wilayah operasional tambang, yang dinilai tidak mencerminkan tata kelola pemerintahan yang baik.
Akibat berbagai tindakan tersebut, PT Mifa Bersaudara mengaku telah dirugikan, baik secara materiil maupun immateriil. Perusahaan kini tengah melakukan evaluasi hukum dan siap menempuh jalur hukum yang diperlukan.
“Kami berharap iklim investasi di Aceh tetap kondusif, karena pada akhirnya yang diuntungkan bukan hanya perusahaan, tetapi juga masyarakat dan pemerintah daerah,” tutupnya.
Jakarta – Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) menegaskan setiap pelaku usaha yang memutar musik di…
Jakarta – Sistem keuangan digital Indonesia akan memasuki era baru. Tepat pada 17 Agustus 2025,…
Jakarta - Menjelang Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia, simbol bajak laut fiksi One Piece…
Aceh – Realisasi serapan anggaran Pemerintah Aceh hingga akhir Juli 2025 tercatat masih jauh dari…
Jakarta – Presiden Prabowo Subianto mengusulkan pemberian abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong…
Meulaboh – Antrean panjang kendaraan kembali terlihat di sejumlah SPBU di wilayah barat Aceh, Kamis,…
This website uses cookies.