ilustrasi
Aceh Selatan – Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Aceh menegaskan bahwa bupati tidak memiliki kewenangan untuk mencabut atau menghentikan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Penegasan ini disampaikan menyusul keputusan Bupati Aceh Selatan, Mirwan MS, yang menghentikan sementara seluruh aktivitas pertambangan dan pengangkutan bijih besi milik dua perusahaan di kawasan Manggamat, Kecamatan Kluet Tengah.
“Kewenangan memberikan, menghentikan, maupun mencabut IUP di Aceh berada sepenuhnya di tangan Pemerintah Provinsi, dalam hal ini Gubernur Aceh. Bupati tidak memiliki otoritas untuk mengambil keputusan tersebut,” kata Kepala Bidang Mineral dan Batubara Dinas ESDM Aceh, Khairil Basyar, kepada wartawan, Ahad, 3 Agustus 2025.
Khairil menyebut bahwa tindakan sepihak kepala daerah tanpa mengikuti prosedur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum bagi pelaku usaha, sekaligus memperburuk iklim investasi di daerah.
Ia menjelaskan, sejak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) berlaku, seluruh kewenangan pengelolaan sektor mineral dan batubara berada di tangan Pemerintah Aceh. Hal itu diperkuat lagi dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 serta UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana dilangsir dari thetapaktuanpost.com.
Bupati Mirwan: Penghentian Sementara untuk Evaluasi Konflik di Lapangan
Keputusan penghentian sementara aktivitas pertambangan di Manggamat sebelumnya dikeluarkan oleh Bupati Aceh Selatan melalui surat resmi Nomor 540/790 tertanggal 21 Juli 2025. Surat itu ditujukan kepada Ketua KSU Tiega Manggis dan Direktur PT PSU, dua perusahaan tambang bijih besi yang selama ini beroperasi di Kecamatan Kluet Tengah.
“Menindaklanjuti laporan masyarakat terkait konflik dengan perusahaan, kami perintahkan penghentian sementara seluruh aktivitas pertambangan dan pengangkutan di wilayah tersebut,” ujar Bupati Mirwan dalam keterangan tertulis, Senin, 21 Juli 2025.
Ia mengatakan bahwa Pemkab Aceh Selatan akan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap izin usaha pertambangan operasi produksi milik kedua perusahaan tersebut. Surat penghentian itu juga ditembuskan ke Gubernur Aceh, DPRK Aceh Selatan, dan dinas-dinas terkait baik di tingkat provinsi maupun kabupaten.
Mirwan menegaskan bahwa pemerintah daerah tetap membuka diri terhadap investasi, termasuk di sektor pertambangan, selama kegiatan usaha dilakukan sesuai aturan dan tidak menimbulkan konflik sosial atau kerusakan lingkungan.
“Kita dukung investasi yang sehat demi kemajuan daerah dan peningkatan PAD. Tapi aktivitas tambang harus patuh pada regulasi dan tidak boleh merugikan masyarakat,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa penghentian ini adalah sinyal bahwa pemerintah kabupaten tidak akan membiarkan praktik tambang yang menimbulkan keresahan tanpa pengawasan yang ketat. “Evaluasi ini jadi tolok ukur konsistensi kami dalam menegakkan aturan,” kata Mirwan, ajnn.net
WALHI Kritik Kebijakan Tambang Bupati: Kontradiktif dan Tidak Pro-Rakyat
Di tengah polemik tersebut, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh menilai langkah Bupati Aceh Selatan justru menunjukkan ketidaktegasan dan kontradiksi. Pasalnya, setelah mengeluarkan surat penghentian sementara terhadap KSU Tiega Manggis dan PT Pinang Sejati Utama (PSU), bupati justru menerbitkan rekomendasi IUP eksplorasi untuk perusahaan tambang baru, PT Kinston Abadi Mineral, di wilayah Trumon Tengah dan Trumon Timur.
“Kalau menghentikan tambang di Manggamat dianggap demi kepentingan masyarakat, lalu kenapa justru membuka jalan baru bagi perusahaan tambang lainnya? Ini kontradiktif. Publik bisa menganggap ini sekadar pencitraan politik,” kata Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye WALHI Aceh, Afifuddin Acal, Selasa, 5 Agustus 2025.
Afifuddin juga menyoroti dampak sosial dan lingkungan dari aktivitas tambang yang selama ini lebih banyak menimbulkan persoalan ketimbang menyejahterakan masyarakat. Ia menyebut narasi bahwa tambang menciptakan lapangan kerja dan menumbuhkan ekonomi lokal sering kali tidak terbukti di lapangan.
“Kalau merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), tenaga kerja di sektor tambang di Aceh hanya 0,96 persen. Tidak sampai satu persen. Jadi sangat tidak relevan kalau investasi tambang dianggap sebagai jalan utama keluar dari kemiskinan,” ujarnya.
Ia mendorong pemerintah kabupaten fokus pada sektor lain yang lebih berkelanjutan dan terbukti menyerap banyak tenaga kerja. “Aceh Selatan punya komoditas pala yang mendunia. Kenapa bukan itu yang dikembangkan? Kenapa harus tambang?” ucapnya, ajnn.net.
Tonicko Anggara, aktivis Lembaga Pariwisata dan Pecinta Alam Mahasiswa Islam (LEPPAMI) mengemukakan pendapatnya mengenai izin…
Pidie Jaya, 30 Oktober 2025 — Kejadian dugaan pemukulan terhadap Kepala Dapur MBG Yayasan Pionir…
Meulaboh — Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Aceh Barat meluncurkan program…
Banda Aceh, 12 Oktober 2025 – Mahasiswa Fakultas Hukum Qayla Shabira Yolanda raih Prestasi di…
Meulaboh — Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Aceh Barat memperkenalkan cara…
Banda Aceh — Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, melantik jajaran Dewan Ekonomi Aceh (DEA) dalam sebuah…
This website uses cookies.