Tonicko Anggara, aktivis Lembaga Pariwisata dan Pecinta Alam Mahasiswa Islam (LEPPAMI) mengemukakan pendapatnya mengenai izin tambang legal di Provinsi Aceh yang saat ini telah berjumlah sebanyak 64 dan 7 diantaranya berada di Kabupaten Aceh Selatan.
“Saat ini kita tentunya tidak perlu lagi mempertanyakan eksistensi tambang di Aceh, terkhususnya di Aceh Selatan. Melainkan mengganti pertanyaan itu menjadi: Sudah siapkah kita untuk menerima dampaknya? Karena konsekuensi dari pertambangan itu sendiri adalah ancaman terhadap sumber air sebagai kebutuhan primer manusia, habitat satwa sebagai penyeimbang alam, pencemaran lingkungan yang berakibat memicu penyakit bagi manusia serta mengganggu ruang hidup bagi masyarakat.” Jelas Tonicko Anggara.
Tonicko menegaskan bilamana mulusnya izin tambang di Aceh Selatan memiliki alasan untuk mewujudkan kemajuan bagi daerah maka pemangku kebijakan dapat dikategorikan sebagai sekelompok orang yang tidak inovatif dan kreatif dalam mencari jalan lain. Menurutnya, ada banyak opsi lain yang dapat ditempuh untuk mewujudkan cita-cita kemajuan bagi daerah apalagi Aceh Selatan sangat kaya akan potensi seperti pada sektor pariwisata, kelautan perikanan, pertanian perkebunan maupun UMKM dan produk lokalnya yang tentunya mampu menjadi penopang dan pendorong atau katalisator untuk mewujudkan cita-cita kemajuan Aceh Selatan.
“Bilamana alasan mulusnya izin tambang itu adalah mewujudkan Aceh Selatan maju. Maka, hemat saya pemangku kebijakan itu dapat dikategorikan sebagai sekelompok orang yang krisis inovasi dan kreativitas dalam mencari jalan untuk mewujudkan kemajuan bagi daerah. Mengingat terdapat banyak sektor potensial yang tersedia di Aceh Selatan sehingga kita juga memiliki banyak opsi dalam memilih dan menentukan jalan menuju kemajuan bagi Aceh Selatan itu sendiri. Maka apa susah nya memilih jalan yang tidak merusak alam? Dengan memilih jalan seperti itulah kita dapat tetap lestari dalam uapaya mewujudkan kemajuan itu sendiri.” Tegas Tonicko lebih lanjut.
Diakhir Tonicko Anggara menyampaikan bahwa niat baik tanpa cara yang baik akan melahirkan keburukan. Menurutnya, cita-cita akan kemajuan Aceh Selatan bila diperjuangkan atau ditempuh lewat jalan yang keliru maka hasilnya juga akan tidak baik. Ia pun menegaskan lagi bahwasannya tidak ada gunanya kemajuan disaat lingkungan itu tak terjaga dengan baik yang berakibat pada lahirnya lingkungan yang tak bersahabat dengan manusia, yang akan bermuara pada kehancuran bila tak disadari dan diantisipasi.
“Hanya dengan cara yang baiklah kebaikan akan lahir dan diraih. Dalam hal ini terkait kemajuan tentu ini adalah cita-cita baik nan mulia. Namun bila jalur yang ditempuh itu keliru atau dalam hal ini dapat merusak alam maka kemajuan seperti apa yang ingin kita raih? Hemat saya, tidak ada nikmat kemajuan saat lingkungan kita sendiri rusak ataupun hancur dan tak ada yang lebih nikmat dibandingkan hidup dengan kecukupan pada situasi dan kondisi alam atau lingkungan yang terjaga dan bersahabat.” Akhirnya.


