Aceh Barat — Setiap tahun, masyarakat Aceh Barat menyambut peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dengan cara yang unik dan penuh kreativitas. Salah satu tradisi yang menjadi sorotan adalah pembuatan miniatur yang dihiasi dengan aneka snack, sebuah ekspresi budaya yang kini telah melekat sebagai identitas sosial di wilayah tersebut.
Awalnya, tradisi ini berangkat dari bentuk sederhana. Dahulu masyarakat menggunakan pohon pinang sebagai media utama. Di batangnya digantungkan berbagai makanan ringan yang nantinya akan dibagikan kepada rombongan zikir dari desa tamu. Tradisi ini mencerminkan semangat berbagi dan gotong royong antarwarga dalam suasana religius.
Namun, seiring berjalannya waktu, kreativitas masyarakat terus berkembang. Pohon pinang yang dulu menjadi simbol tradisi kini berevolusi menjadi miniatur perahu nelayan, mobil, rumah adat, hingga replika bangunan megah. Setiap desa berlomba-lomba menampilkan karya terbaik mereka, bukan sekadar untuk estetika, tetapi juga sebagai bentuk ekspresi identitas kolektif dan solidaritas sosial.
Wilayah Kubu, Kecamatan Arongan Lambalek, menjadi salah satu pusat perhatian dalam perayaan ini. Setiap tahun, kawasan ini dipadati warga dari berbagai daerah yang datang untuk melihat langsung keindahan miniatur yang dibuat. Bagi sebagian pengunjung, acara ini bukan hanya ajang keagamaan, melainkan juga ruang hiburan rakyat yang menumbuhkan rasa kebersamaan lintas generasi.
Meski berlangsung hanya setahun sekali, perayaan maulid di Aceh Barat memiliki nilai sosial dan kultural yang mendalam. Di balik kemeriahannya, tersimpan makna tentang transformasi tradisi dalam masyarakat modern—bagaimana ritual keagamaan dapat berpadu dengan nilai estetika, ekonomi kreatif, hingga pembentukan karakter sosial generasi muda.

“Miniatur-miniatur ini bukan sekadar hiasan,” ujar Diki, pemuda setempat. “Ia adalah simbol kerja kolektif, bukti bahwa masyarakat kita mampu menjaga tradisi dengan cara yang kreatif dan relevan dengan zaman.”
Namun, sebagian pemerhati budaya menilai, tantangan ke depan terletak pada bagaimana tradisi ini dapat tetap mempertahankan makna spiritualnya di tengah dominasi aspek hiburan dan kompetisi antar-desa. Tanpa pemahaman yang mendalam, tradisi yang sejatinya berakar pada nilai religius bisa kehilangan ruh aslinya.
Di tengah arus modernisasi, perayaan maulid di Aceh Barat menunjukkan bahwa kebudayaan lokal tidak hilang, melainkan beradaptasi. Miniatur-miniatur yang megah itu menjadi simbol kebanggaan, sekaligus pengingat bahwa spiritualitas dan solidaritas sosial masih menjadi fondasi kuat kehidupan masyarakat Aceh.


