Peringatan Hari Koperasi Nasional ke-78 di Nusa Tenggara Barat (NTB), 12 Juli , menorehkan sejarah penting: negara hadir di tengah tambang rakyat. Kapolda NTB Irjen Pol. Hadi Gunawan dan Gubernur NTB Lalu Muhammad Iqbal secara resmi menyerahkan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) kepada Koperasi Selonong Bukit Lestari, koperasi lokal asal Kabupaten Sumbawa. Penyerahan ini bukan hanya seremonial administratif, tapi pesan simbolik bahwa legalitas dan keberlanjutan bukan sekadar jargon, melainkan kebijakan nyata.
NTB bisa. Apakah Aceh juga bisa?
Aceh punya tambang, tapi tanpa aturan. Berdasarkan data WALHI Aceh, tambang emas ilegal di provinsi ini mencapai 6.805 hektare. Persebarannya luas: dari Aceh Barat, Nagan Raya, Pidie, hingga Aceh Besar. Beroperasi di hulu-hulu sungai penting dan daerah aliran sungai strategis seperti DAS Krueng Aceh, Teunom, dan Woyla.
Namun, yang terjadi hari ini bukan penataan, melainkan penangkapan. Negara seperti hadir hanya saat membawa borgol. Tampak seperti lingkaran setan: ada tambang, maka tangkap. Tapi saat masyarakat menuntut legalitas tambang rakyat, negara tak kunjung membuka ruang.
Legalitas: Masalah Niat Politik, Bukan Ketiadaan Regulasi
UU Nomor 3 Tahun 2020 sudah cukup terang benderang soal Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan mekanisme perizinannya. Ada batasan maksimal 100 hektare, kedalaman maksimal 100 meter, dan wajib menyebutkan komoditas yang ditambang. WPR harus ditetapkan terlebih dahulu oleh bupati/walikota, berkoordinasi dengan pemerintah provinsi, dan melibatkan masyarakat melalui pengumuman terbuka.
Tapi hingga hari ini, berapa wilayah di Aceh yang secara resmi ditetapkan sebagai WPR?
Padahal, berdasarkan aturan, lokasi yang saat ini telah dikerjakan masyarakat secara turun-temurun, meskipun disebut ilegal, seharusnya menjadi prioritas untuk ditetapkan sebagai WPR. Artinya, negara seharusnya tidak langsung menghukum, tetapi membina dan memberikan jalan keluar legal bagi masyarakat lokal yang menggantungkan hidup pada sumber daya tambang.
Kenyataannya, Aceh justru mengalami stagnasi dalam hal ini. Apakah ini karena ketidakmampuan teknis, atau memang tak ada niat politik?
Siapa Takut dengan Tambang Legal?
Pertanyaan ini perlu kita ajukan secara jujur, siapa yang takut jika tambang rakyat dilegalkan?
Saat tambang legal dibentuk lewat WPR dan IPR, pendapatan bisa dicatat, pajak bisa ditarik, masyarakat bisa dilibatkan dalam koperasi, dan kerusakan lingkungan bisa dikontrol lewat standar teknis. Tapi jika tambang tetap dibiarkan liar, siapa yang sebenarnya menikmati “uang gelap” dari operasi itu?
Inilah tamparan bagi kita semua. Aceh belum tentu tidak bisa, tapi mungkin tidak mau karena ada sebagian pihak yang takut kehilangan sumber pendapatan gelap dari tambang ilegal.
Saatnya Buka Mata
NTB membuktikan bahwa tambang rakyat bisa diatur dan diberi legalitas. Apakah Aceh akan terus berkutat dalam konflik horizontal antara aparat dan masyarakat kecil, sementara tambang-tambang besar yang menyaru sebagai rakyat justru dilindungi?
Ini bukan lagi soal tambang, tapi soal kemauan untuk menata dan memperjuangkan keadilan ekonomi. Saat NTB memulai era baru dengan menyerahkan IPR kepada koperasi rakyat, Aceh harus menjawab: akan ikut maju atau tetap terjebak dalam permainan lama yang menindas yang kecil demi melindungi yang besar?
Jika benar Aceh ingin perubahan, maka kepala daerah, DPR, dan aparat hukum harus bersatu untuk menetapkan WPR, menyusun peta legalitas, dan mendorong lahirnya koperasi-koperasi tambang lokal yang sah. Bukan lagi sekadar menangkap penambang kecil sambil tutup mata terhadap sistem yang membuat mereka tetap miskin dan tertindas.
NTB bisa. Apakah Aceh juga bisa? Atau kita akan terus diam, karena takut kehilangan kuasa atas tambang gelap yang menyala dalam sunyi?
Oleh: Jhony Howord
Ketua Umum Yayasan Wahana Generasi Aceh (WANGSA)