Dewan Aceh Dituntut Penjara karena Tampar Anak: Etika Publik di Ujung Tanduk

gambar ilustrasi

Meulaboh – Sidang ke-10 perkara dugaan kekerasan terhadap anak dengan terdakwa anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), DPRAIlustrasi Ilustrasi Tgk H Mawardi Basyah, kembali digelar di Pengadilan Negeri Meulaboh, Senin (21/7/2025). Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Aceh Barat menuntut politisi tersebut dengan pidana penjara selama satu tahun, disertai perintah penahanan.

Tuntutan itu dibacakan JPU Ardiansyah Girsang di hadapan Majelis Hakim yang diketuai Melky Salahuddin, didampingi hakim anggota Muhammad Imam dan Arief Rachman. Terdakwa dijerat Pasal 80 ayat (1) Jo Pasal 76C UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dengan dakwaan melakukan kekerasan fisik terhadap seorang anak di sebuah sekolah dasar Islam terpadu di Meulaboh, Aceh Barat.

Peristiwa itu terjadi pada Senin siang, 23 September 2024, saat Mawardi datang menjemput anaknya dan mendapati sang anak sedang adu mulut dengan teman sekelasnya. Tanpa koordinasi dengan pihak sekolah, ia langsung menarik baju anak tersebut dari belakang dan menampar pipi kanannya. Hasil visum dari RSUD Cut Nyak Dhien Meulaboh menunjukkan adanya luka memar berukuran 4×3 cm di pipi korban, sebagaimana dikutip dari Serambinews.

Sidang lanjutan akan digelar dua pekan mendatang dengan agenda pleidoi atau pembelaan dari terdakwa.

Kekerasan Tidak Punya Ruang, Apalagi oleh Pejabat Publik

Kasus ini menyoroti kembali persoalan serius: pejabat publik yang gagal mengendalikan emosi dalam ruang sosial yang paling sensitif—lembaga pendidikan dasar. Kekerasan terhadap anak, dalam bentuk apapun, adalah pelanggaran hukum sekaligus pelanggaran etik yang berat.

Tindakan menampar anak orang lain di lingkungan sekolah, tak hanya melanggar UU Perlindungan Anak, tetapi juga mencederai norma dasar kepantasan, apalagi dilakukan oleh seorang anggota dewan yang seharusnya menjadi panutan dalam kehidupan publik.

Potensi Pergantian Antarwaktu (PAW) Mengintai

Dengan tuntutan satu tahun penjara, posisi Mawardi Basyah di DPRA kini berada di ambang krisis. Secara politik, jika pengadilan memutuskan bersalah dan vonis berkekuatan hukum tetap, maka mekanisme Pergantian Antarwaktu (PAW) sangat mungkin diaktifkan oleh partai politik pengusung sesuai regulasi pemilu dan tata tertib dewan.

Pasal 239 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) mengatur bahwa anggota legislatif dapat diberhentikan antarwaktu jika terbukti melakukan tindak pidana yang diancam hukuman minimal lima tahun atau lebih. Meski tuntutan