Dana Desa Rp2,2 Miliar Bermasalah di Aceh Barat: Saatnya Bicara Serius soal SDM dan Transparansi

Ilustrasi

Meulaboh – Inspektorat Kabupaten Aceh Barat mencatat total temuan penyimpangan pengelolaan dana desa senilai Rp2,2 miliar sepanjang 2022 hingga 2023. Temuan ini berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) tahun 2024, yang menunjukkan bahwa problem tata kelola anggaran desa masih menjadi persoalan akut di wilayah tersebut.

“Jika dilihat, hampir semua desa di Aceh Barat pengelolaan dana desa bermasalah, dan menjadi temuan,” kata Kepala Inspektorat Aceh Barat, Zakaria, Selasa (22/7/2025).

Temuan itu mencakup 19 desa dengan berbagai bentuk penyimpangan: dari pengeluaran fiktif, tak setor pajak, kelebihan pembayaran, pengadaan barang tak sesuai volume, hingga proyek fisik tanpa laporan pertanggungjawaban (LPJ). Bahkan ada desa yang tidak menyusun LPJ sama sekali.

Salah satu kasus yang mencuat adalah Desa Ranto Panyang Barat, Kecamatan Meureubo. Berdasarkan hasil audit, desa tersebut diduga menyalahgunakan dana desa lebih dari Rp700 juta. Setelah dilakukan pengembalian melalui penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT), angka tersebut menyusut menjadi sekitar Rp500 juta. Namun karena melebihi batas waktu 60 hari yang diberikan untuk pengembalian, kasus ini kini berada di tangan aparat penegak hukum.

Masalah Lama, Solusi Belum Tajam

Masalah pengelolaan dana desa bukan hal baru. Sejak gelontoran dana desa bergulir pascareformasi dengan semangat desentralisasi, cerita penyimpangan terus terulang, dari Sabang sampai Merauke. Namun fakta bahwa hampir semua desa di Aceh Barat punya catatan temuan selama dua tahun terakhir, adalah alarm keras: ada yang tidak beres secara struktural.

Zakaria mengakui pentingnya pembinaan terhadap aparatur desa. “Selama ini kita juga sering melakukan pembinaan pada setiap desa, tapi masih ada sebagian desa tidak ada LPJ sama sekali,” ujarnya. Ia menambahkan, pihaknya terbuka jika perangkat desa ingin belajar langsung ke kantor inspektorat.

Namun pertanyaannya, apakah pembinaan administratif cukup?

Perlu Perubahan Pendekatan: Literasi Keuangan dan Kepemimpinan Etis

Penting untuk diingat: desa bukan cuma soal pembangunan fisik dan laporan keuangan. Ada aspek literasi, etika, dan kepemimpinan partisipatif yang belum disentuh secara serius. Selama aparat desa hanya dikejar soal teknis laporan dan tidak diberi pemahaman tentang tanggung jawab sosial dari anggaran publik, pola ini akan terus berulang.

Pemerintah daerah dan lembaga pengawas perlu menyusun strategi pelatihan yang bukan sekadar “sosialisasi regulasi”, tetapi mendalam dan kontekstual: melatih literasi keuangan desa, memperkuat etika pelayanan publik, dan mendorong transparansi berbasis partisipasi warga.

“Penguatan SDM desa adalah langkah strategis agar dana desa benar-benar digunakan untuk kesejahteraan masyarakat dan pembangunan desa yang berkelanjutan,” kata Zakaria, sebagaimana dikutip dari Serambinews.

Mendorong Desa yang Transparan dan Inklusif

Langkah ke depan tidak cukup berhenti pada sanksi dan audit. Diperlukan sistem yang memungkinkan masyarakat turut mengawasi dan menilai penggunaan dana desa secara terbuka. Misalnya dengan mewajibkan papan informasi digital atau laporan visual sederhana yang bisa diakses warga melalui posko desa atau kanal media sosial resmi.

Aceh Barat, dan banyak daerah lainnya, butuh lebih dari sekadar pengembalian dana. Ia butuh reformasi mental pengelolaan desa—agar desa tidak hanya menjadi sasaran dana, tapi juga menjadi titik tolak kemajuan yang berintegritas.