80 Tahun Merdeka, Desa di Woyla Timur Masih Terjebak Lumpur dan Blank Spot

Dokumentasi mahasiswa KKN dan geuchik gampong

Aceh Barat – Delapan dekade setelah Indonesia merdeka, warga Gampong Leubok Panyang, Kecamatan Woyla Timur, Aceh Barat, masih berkutat dengan jalan tanah berlumpur dan sinyal telekomunikasi yang hilang timbul. Kondisi ini menyingkap paradoks pembangunan nasional: proyek infrastruktur raksasa dijalankan di banyak kota, sementara desa-desa terpencil masih kesulitan mengakses kebutuhan dasar.

“Sejak Indonesia merdeka, jalan ini tetap begini. Masih tanah dan batu, tidak pernah dibangun layak. Saat hujan, licin dan berlumpur. Warga harus berhati-hati membawa hasil kebun. Ini jelas menghambat ekonomi desa,” ujar Geuchik Leubok Panyang, Mustawa, Selasa (19/8), dalam pertemuan dengan mahasiswa Kuliah Kerja Nyata Universitas Teuku Umar.

Internet pun jadi barang langka. Hanya di beberapa titik warga bisa menangkap sinyal, sementara mayoritas wilayah tetap blank spot. “Internet bukan lagi barang mewah. Pendidikan, administrasi, bahkan urusan keluarga sekarang butuh jaringan. Pemerintah harus hadir,” katanya.

kondisi jalan Gampong Leubok Panyang, Kecamatan Woyla Timur

Efisiensi yang Dipertanyakan

Kondisi Leubok Panyang bukan kasus tunggal. Banyak desa di Aceh dan luar Aceh menghadapi masalah serupa: jalan rusak dan akses digital minim. Padahal, anggaran pembangunan infrastruktur setiap tahun mencapai ratusan triliun rupiah.

Ironinya, proyek besar seperti jalan tol trans-Sumatera atau rencana ibu kota negara baru terus digencarkan, sementara ribuan kilometer jalan desa masih berbentuk tanah. Ini menimbulkan pertanyaan soal arah dan efisiensi belanja negara. Apakah pembangunan benar-benar menyentuh rakyat terbawah, atau sekadar menumpuk di pusat-pusat ekonomi baru?

Mahasiswa Sebagai Alarm Publik

Kelompok mahasiswa KKN UTU yang ditempatkan di desa tersebut berinisiatif mengangkat persoalan ini ke ruang publik. “kami siap membantu mempublikasikan kondisi ini melalui media massa dan media sosial, agar pemerintah daerah maupun instansi terkait mengetahui situasi lapangan yang sebenarnya.” kata Mauliana, ketua kelompok KKN.

Langkah ini menjadi sinyal penting: ketika mahasiswa di lapangan terpaksa menjadi corong aspirasi, artinya mekanisme birokrasi pembangunan tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Kemerdekaan yang Belum Merata

Leubok Panyang memiliki potensi pertanian dan perkebunan yang besar. Namun tanpa jalan dan jaringan yang layak, potensi itu terkunci. Situasi ini mengingatkan bahwa kemerdekaan sejatinya bukan hanya simbol politik, tetapi juga soal pemerataan akses ekonomi dan informasi.

Delapan puluh tahun setelah merdeka, warga desa masih menunggu negara hadir dengan kebijakan yang berpihak. Jalan desa dan internet mungkin terdengar sederhana, tetapi tanpa itu, kata Mustawa, “Kami tetap terjebak di lumpur sejarah.”